Banyuwangi – Nusantara Times.Online // Pemeriksaan terhadap seorang guru honorer di Banyuwangi hanya karena komentar singkat bertuliskan “Tumpang Pitu gmn Bu Ipuk” adalah preseden buruk bagi dunia pendidikan dan demokrasi. Komentar tersebut tidak mengandung ujaran kebencian, tidak memfitnah, tidak pula menghasut. Namun respons yang muncul justru seolah-olah guru honorer itu telah melakukan pelanggaran berat yang mengancam kewibawaan negara.
Tindakan pemeriksaan ini terasa berlebihan dan mencerminkan cara pandang yang keliru dalam menyikapi kritik. Guru honorer yang kesejahteraannya jauh dari layak dan statusnya rentan justru dijadikan objek penertiban hanya karena sebuah komentar. Padahal Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara tegas menjamin setiap orang berhak atas kebebasan menyampaikan pendapat. Kritik terhadap kebijakan publik bukan kejahatan, melainkan vitamin bagi demokrasi.
Yang lebih ironis, sikap tegas tersebut seolah tidak berlaku ketika berhadapan dengan persoalan biaya-biaya pendidikan di sekolah negeri yang nyata-nyata membebani orang tua siswa, khususnya masyarakat tidak mampu. Hampir di setiap sekolah negeri, muncul pungutan rutin bulanan dengan berbagai nama yang terus berganti: Uang Korlas, Uang Paguyuban, PSM, atau istilah lain yang pada praktiknya tak berbeda dengan SPP terselubung.
Padahal, secara hukum, praktik tersebut jelas dilarang. Didalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Larangan pungutan juga ditegaskan dalam berbagai regulasi teknis, termasuk aturan pengelolaan dana BOS yang menyatakan sekolah negeri tidak boleh memungut biaya yang bersifat wajib dan mengikat.

Lebih jauh, Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dengan tegas membedakan antara sumbangan dan pungutan. Sumbangan bersifat sukarela, tidak ditentukan jumlah dan waktunya, serta tidak boleh ada konsekuensi bagi yang tidak membayar. Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: pembayaran ditentukan, bersifat rutin, bahkan orang tua diminta mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) seolah kemiskinan adalah syarat administratif untuk mendapatkan hak pendidikan.
Di titik inilah publik pantas bertanya: mengapa Dinas Pendidikan tampak sigap memeriksa kritik, tetapi terkesan tutup mata terhadap dugaan pungutan liar yang berlangsung sistematis?
Jika seorang guru honorer bisa diperiksa hanya karena satu kalimat komentar, maka seharusnya aparat pendidikan lebih tegas memeriksa praktik-praktik yang berpotensi melanggar hukum dan mencederai hak anak atas pendidikan. Ketika yang bersuara dipersekusi, sementara dugaan pelanggaran dilindungi atau dibiarkan, maka yang terjadi bukan penegakan aturan, melainkan ketimpangan kekuasaan.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang paling aman untuk berpikir kritis, bukan ruang paling sensitif terhadap kritik. Jika kritik dianggap ancaman, sementara pungutan dianggap kewajaran, maka yang sedang rusak bukan hanya sistem pendidikan, tetapi juga nurani para pengelolanya.
Pertanyaannya kini sederhana namun mendasar: siapa yang sebenarnya dilindungi, dan siapa yang justru dikorbankan?
Opini ini ditulis oleh Pemerhati Pendidikan, Ari Bagus Pranata

















